Jumat, 13 November 2009

Baret Ungu

PANCA DHARMA SATYA RESIMEN NAHASISWA INDONESIA

1. Kami adalah mahasiswa warga Negara, negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
2. Kami adalah mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab serta kehormatan akan pembelaan negara dan tidak kenal menyerah.
3. Kami Putra Indonesia yang berjiwa ksatria dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan.
4. Kami adalah mahasiswa yang menjunjung tinggi nama dan kehormatan Garba Ilmiah dan sadar akan hari depan Bangsa dan Negara.
5. Kami adalah mahasiswa yang memegang teguh disiplin lahir dan batin, percaya pada diri sendiri dan mengutamakan kepentingan Nasional di atas kepentingan pribadi mau pun golongan.


"Widya Castrena Dharma Siddha"
Semboyan ini berasal dari bahasa Sanskerta, berarti :
"Penyempurnaan pengabdian dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan seni kemiliteran"
Yang dimaksudkan oleh Ilmu Pengetahuan adalah segala macam cabang keilmuan yang didapat saat menjadi mahasiswa. Hal ini dipergunakan untuk menempuh jenjang karier, dengan tidak melupakan tujuan utama melakukan pengabdian pada masyarakat.
Sedangkan Seni Kemiliteran adalah yang bersangkutan dengan jiwa keperwiraan, keksatriaan serta kepemimpinan, bukan sekadar keahlian dalam bertempur atau pun yang sejenis.

U N G U adalah warna kebanggaan MENWA
Warna ini mempunyai arti :
Mulia
Berpengetahuan
Terpelajar

Makna tersebut dihadirkan dalam bentuk baret, yang menunjukkan bahwa segenap wira dan purnawira mustilah menjunjung sifat-sifat tersebut.
Warna ini dikenal dalam masa silam peradaban, ketika imperium Romawi menguasai sebagian besar daratan di Bumi. Warna ungu digunakan oleh para bangsawan, kaum akademis dan filosofis serta kaum terpelajar lain.

Menwa Sat 103 Mahasakti IAIN IB Padang

Keberadaan Resimen Mahasiswa (Menwa) memang memiliki akar sejarah yang panjang. Korps seperti ini sudah ada sejak zaman perang kemerdekaan. Waktu itu, kita mengenal “Corps Militer” (CM) yang bahu-membahu dengan rakyat bersenjata lainnya dalam melawan Belanda. Keterlibatan Menwa dalam aksi bela negara ini seakan-akan membenarkan keberadaan Menwa pada masa berikutnya.

Pada tahun 1958, para mahasiswa direkrut untuk mengikuti wajib latih militer untuk persiapan operasi Trikora di Irian Barat. Selama tiga bulan mereka dilatih pasukan militer di kodam-kodam setempat.

Tahun 1960-an, partai-partai masuk kampus melalui organisasi-organisasi kemahasiwaan, seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiwa Kristen Indonesia), dan CGMI (Centra Gerakan Mahasiswa Indonesia--afiliasi PKI). Waktu itulah ABRI memandang perlu membentuk organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi ke ABRI. Dengan dalih bela negara, mantan Menhankam Edi Sudrajat menilai, Menwa berperan penting dalam menghantam CGMI.

Sejalan dengan itu, para senior di Angkatan Bersenjata menginginkan agar keterlibatan mahasiswa dalam bela negara disistematisasi. Maka, dibentuklah Menwa di beberapa daerah. Waktu itu baretnya belum seragam. Ada yang berbaret merah, ada pula yang berbaret kuning. Akhirnya, mereka diseragamkan dalam baret ungu.

Secara legal, keberadaan Menwa dikukuhkan dengan dua Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yakni Menhankam/Pangab, Mendikbud, dan Mendagri. SKB tersebut adalah SKB No. Kep/39/XI/1975 yang ditindaklanjuti SKB No. Kep/02/I/1978.

Dalam SKB tersebut disebutkan, fungsi Menwa adalah sebagai stabilisator dan dinamisator kampus. Peran ini sempat dipertanyakan sejumlah anggorta DPR dan kalangan kampus. Soalnya, ada kesan seolah-olah Menwa telah menerima sebagian wewenang ABRI.

Penampilan fisik Menwa memang hampir tidak ada bedanya dengan tentara. Sehari-hari mereka memakai seragam hijau-hijau mirip ABRI. Bahkan, sejumlah oknum sering memakai seragam loreng, meski tindakan ini dianggap indisipiliner.

Organisasi Menwa juga berbeda dengan organisaisi kemahasiswaaan lainnya. Kalau senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) berada di bawah pembinaan Pembantu Rektor III, Menwa malah langsung berada di bawah Rektor yang berkedudukan sebagai Kepala Markas Distrik.

Hirarki organisisasi Menwa juga tidak terbatas pada rektor. Mereka memiliki struktur organsasi yang langsung dibina aparat teritorial militer. Di tingkat daerah kemiliteran, mereka berada di bawah Komandan Resimen (Danmen), yang merupakan perwira aktif ABRI.

Dengan atribut fisik, karakter organisasi, dan fungsi yang ekslusif, ditambah ulah sejumlah oknum yang over acting, Menwa kerap mendapat penilaian bernada “miring”. Kalangan aktivis kampus sering menjuluki anggota Menwa sebagai “intel mahasiswa”.

Memang banyak bukti yang bisa ditunjuk. Dalam protes kenaikan SPP di sebuah kampus misalnya, Menwa malah bertindak sebagai “aparat” yang berhadapan dengan teman-temannya sendiri. Di Universitas Diponegoro Semarang, Menwa pernah menangkap dan mengintrogasi dua orang mahasiswa yang dicurigai menebarkan imbauan kepada teman-temannya untuk mengahadiri persidangan kasus Golput di pengadilan. Tak hanya itu. Di sejumlah kampus, bentrok fisik antara Menwa dengan “mahasiswa sipil” pun terjadi. Pada 18 Oktober 1994, Menwa Universitas Nasional Jakarta bentrok dengan mahasiswa pecinta alam dari almamater yang sama. Akibat bentrok ini, empat mahasiswa luka-luka, sebuah sepeda motor dan posko Menwa hangus terbakar.

Seiring dengan banyaknya kritik terhadap keberadaan Menwa, pada 11 Desember 1994, pemerintah kembali mengeluarkan SKB. SKB ini tentu bukan untuk membubarkan Menwa. Sebab, Menwa masih dianggap fungsional. SKB yang dikelurkan Menhankam, Mendikbud, dan Mendagri ini hanya menindaklanjuti SKB-SKB sebelumnya.

Menurut Menko Polkam Soesilo Sudarman memang ada perbedaan mendasar antara SKB baru dengan SKB-SKB sebelumnya. Perbedaannya antara lain menyangkut soal tanggung jawab pembinaan. Dalam SKB 1994 ini, Menwa secara tegas dinyatakan sebagai rakyat terlatih. Dengan demikian, tanggung jawab pembinaan dan pendidikannya menjadi tanggung jawab Menhankam.

Dalam kaitannya dengan kegiatan perguruan tinggi, pembinaan satuan Menwa di setiap perguruan tinggi menjadi tanggung jawab mendikbud. Sedang dalam hubungannya dengan Unit Kegiatan Mahasiswa di perguruan tinggi, pembinaan Menwa menjadi tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi atau rektor.

Sementara itu, pembianaan teknis administratif Menwa dalam rangka pelaksanaan perlindungan massa (Linmas), fungsi ketertiban umum (Tibum), dan fungsi perlindungan rakyat (Linra), menjadi tanggung jawab mendagri.

Dalam pengorganisasian, SKB menetapkan, di daerah tingkat I, hanya ada satu Resimen Mahasiswa. Di tiap perguruan tinggi, hanya ada satu Satuan Menwa (Satmenwa). Jika di suatu daerah tingkat II ada lebih dari dua Satmenwa, dapat dibentuk satu Subresimen Mahasiswa.

Komandan Menwa (Danmenwa) adalah Asisten Teritorial atau wakil Aster Kasdam atau Korem setempat. Ia diangkat oleh Pangdam setempat. Sedangkan wakil Komandan Menwa dijabat oleh seorang dosen dari perguruan tinggi yang diangkat Pangdam. Kepala Staf Menwa sendiri dipilih dari salah seorang anggota Menwa. Ia sekurang-kurangnya sudah menduduki semester VI. Ia diangkat Dan Menwa atas persetujuan pimpinan perguruan tinggi.

Sebagai rakyat terlatih, Menwa berfungsi sebagai Wanra (Perlawanan Rakyat). Menwa digunakan Pangdam atau Danrem setelah koordinasi dengan pimpinan perguruan tinggi. Sebagai rakyat terlatih untuk fungsi Kamra (Keamanan Rakyat) Menwa digunakan kepolisisan setelah mendapat persetujuan Pangdam/Danrem dan pimpinan perguruan tinggi. Dalam hubungan kegiatan di luar perguruan tinggi, Menwa dapat membentuk satuan gabungan dengan sebutan batalyon atau kompi Menwa.

Mengenai penggunaan seragam, Menwa tidak dibenarkan lagi menggunakan seragam loreng. Untuk kegiatan sehari-hari di kampus, Menwa dianjurkan menggunakan pakaian dinas harian yang berwarna khaki. Sedang untuk kegiatan lapangan, pakaian seragam yang mereka gunakan adalah yang berwarna hijau.

Meski baju Menwa sudah tidak lagi loreng, “fungsi” dan “gaya” mereka belum juga berubah. “Bedak militerisme” yang amat tajam masih menutupi “wajah sipil” mereka. Kini, tatkala keberatan terhadap militerisasi sipil semakin menguat, keberadaan Menwa pun kembali digugat. (Jajang Jamaludin, dari berbagai sumber)

Rabu, 01 Juli 2009

Anak Pertamaku Lahir

Alhamdulillah, pada hari Rabu tanggal 01 Juli 2009 pukul 14.00 WIB, telah lahir anak pertamaku. Pada hari dia lahir ini, bertepatan pula dengan hari Bhayangkara.

"Mohon doa pengunjung sekalian, semoga putri saya menjadi anak yang sholehah dan berbakti kepada orang tua, bangsa dan agama. Amin."

Kami memberinya nama : Firsty Hasanah Pitos

Alhamdulillah, dia lahir dalam keadaan sehat dengan berat 3.0 Kg dan panjang 55 cm.

Minggu, 19 April 2009

Bergabung dengan Tribun Pekanbaru

Tepat sekitar pukul 11.00 WIB, saya menanda tangani PKWT dengan Harian Pagi Tribun Pekanbaru. Koran yang bermotokan "Spirit Baru Riau" ini merupakan koran sebuah koran terkemuka dan termasuk salah satu media di bawah asuhan Kompas Gramedia dengan anak perusahaannya Persda.

Atas karunia ini saya sangat berterima kasih sekali kepada Tuhan yang maha kuasa atas nikmat yang ia berikan ini. Karena, lima belas hari yang lalu saya baru saja mengundurkan diri dari DSP Sorek karena saya harus pulang kampung menyelesaikan urusan keluarga. Kecewa memang saat itu, namun saya ikhlas melepas semuanya.

Ternyata keikhlasan saya itu terbalaskan dengan karunia yang lain. Terima kasih Tuhan dan terima kasih juga kepada mantan Pimpred Posmetro Padang, bang Oktaveri dan mantan Korlip, Rahmatul Akbar alias Bang Camaik atas didikannya selama ini dalam melakukan peliputan berita. Sekarang keduanya bergabung dengan portal Antara Sumbar.

Karajo di bank

Saya tidak menyangka kalau saya akan lulus test di sebuah perusahaan jasa yakni PT ACI. Perusahaan ini menerima calon karyawan yang akan ditempatkan di sebuah bank simpan pinjam yang beroperasi di Riau. Namun, sangkaan saya ternyata salah. Pasalnya, saya diterima bekerja dan ditugaskan sebagai Teller di Danamon Simpan Pinjam (DSP) Unit Sorek Kecamatan pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan Riau.

Kiranya, saya patut sedikit berbangga. Karena, latar pendidikan saya yang dari Jurusan SKI IAIN Imam Bonjol Padang bisa bekerja di sebuah instansi keuangan yang tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan saya. Kiranya ini juga menjadi kebanggaan bagi teman_teman saya satu jurusan dulu dan satu institut.

Waktu itu tanggal 02 Februari 2009. Saya menanda tangani Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Saat itu pula saya mengundurkan diri dari Harian Umum Riau Pesisir sebagai wartawan.