Jumat, 08 Februari 2008

Mengenal Alur Sertifikasi Halal

Kian banyak produk bersertifikat halal. Tentu kenyataan ini membuat konsumen Muslim lebih merasa nyaman. Terutama terkait dengan terpenuhinya kebutuhan mereka akan produk halal. Tak heran jika masyarakat berharap semua produsen memiliki kesadaran mengajukan diri untuk mendapatkan sertifikat halal dari MUI.

Sertifikat halal sebenarnya tak melulu untuk kenyamanan konsumen. Sebenarnya, dengan memiliki sertifikat halal produsen juga akan merasa nyaman. Mereka tak akan dikejar beragam kesangsian dari masyarakat akan status kehalalan produknya. Dan secara komersial, sertifikat halal akan relatif lebih menguntungkan produsen. Sebab, mesti diakui bahwa pangsa pasar terbesar adalah umat islam.

Apalagi proses sertifikasi juga tak begitu rumit. Menurut Ketua Lembaga Pengakajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LP POM) MUI, Aisyah Girindra, untuk mendapatkan sertifikat halal untuk sebuah produk, produsen tinggal mendaftarkan diri kepada lembaga tersebut.

Selain itu, produsen harus menyerahkan beragam dokumen yang terkait dengan produknya. Di antaranya mengenai bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi, bagaimana proses produksi berjalan, maupun peralatan yang digunakan dalam proses produksi. Setelah semua dokumen tersebut dipenuhi, tim auditor LP POM MUI akan menuju ke perusahaan tersebut dan melakukan pemeriksaan.

Tim auditor LP POM MUI ini juga didampingi oleh petugas dari Badan POM dan Departemen Agama. Mereka akan meneliti bahan-bahan yang digunakan, proses produksi, juga peralatan yang digunakan dalam proses produksi. Juga menelisik titik kritis yang mungkin muncul dalam proses produksi. Jika diperlukan, diadakan pemeriksaan laboratorium.

Aisyah menyatakan bahwa hasil pemeriksaan di tempat produsen akan kemudian akan diserahkan kepada komisi fatwa MUI. Produk tersebut kemudian dibahas dalam rapat komisi fatwa. Komisi inilah yang akan menetapkan apakah sebuah produk dapat dinyatakan halal ataupun sebaliknya. Jika ada hal yang masih meragukan maka komisi fatwa akan menanyakan kembali kepada tim auditor.

Lalu tim akan melakukan pemeriksaan kembali ke tempat produsen. Bisa saja, tim ini akan merekomendasikan untuk menggantikan bahan yang mereka gunakan dalam proses produksi. Misalnya, mereka menggunakan gelatin sebagai salah satu bahan dalam produknya. Padahal kebanyakan gelatin berasal dari babi.

Kemudian tim merekomendasikan untuk menggunakan gelatin namun dari bahan sapi. Dengan demikian produk tersebut status kehalalannya jelas. Jika mereka menerima rekomendasi tersebut. Tak lantas tim auditor percaya begitu saja. Akan tetapi dilakukan penelitian kembali tentang benar-tidaknya mereka telah menggunakan gelatin yang halal.

Ia menambahkan bahwa tak selalu MUI memberikan sertifikat halal. Hal ini dilakukan kepada produsen yang tak secara terbuka memberikan informasi mengenai berbagai hal yang terkait dengan produknya. Dan jika hal itu terjadi maka MUI akan menginformasikan kepada masyarakat bahwa produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut tidak halal.

''Semuanya memang akan berpulang kepada komisi fatwa. Merekalah yang berdasarkan hukum islam yang menentukan kehalalan dan keharaman sebuah produk. Jika sebuah produk dinyatakan halal, barulah kemudian sertifikat halal akan diberikan kepada produsen yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan sertifikat halal,'' katanya kepada Republika di Jakarta, Selasa (6/7).

Sertifikat tersebut, jelas Aisyah, akan dibubuhi tanda tangan dari tiga komponen yang ada di MUI. Yaitu dari LP POM, komisi fatwa, dan ketua umum MUI. Ia menambahkan bahwa selain sertifikat halal, produsen juga tak jarang menggunakan label halal. Label halal, jelas Aisyah, bukanlah wewenang LP POM MUI. Namun, itu adalah wewenang Badan POM. Mereka yang kerap menggunakan label halal adalah produsen yang menjual produknya secara eceran dan disajikan dalam bentuk kemasan.

Namun, bagi produsen yang menghasilkan produk yang dijual kepada produsen lain, misalnya tepung yang biasanya dijual karungan, tak memerlukan label halal. Sebab, mereka langsung menjual kepada produsen lainnya, sebagai bahan baku produknya. Asal ada sertifikat halal mereka akan meyakini bahwa tepung itu halal statusnya. ''Jika mereka membutuhkan sertifikat dan label halal biasanya setelah mendapatkan sertifikat halal kemudian akan berhubungan dengan Badan POM untuk mendapatkan label halal bagi produknya,'' jelasnya. Sumber: Republika, 9 Juli 2004

Tidak ada komentar: