Jumat, 14 Desember 2007

Implikasi dan Hambatan Basmi Tipikor

PADANG, METRO

Bertambahnya kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), semakin luas pula jangkauan yang dapat dilakukan oleh Pengadilan Tipikor dan menuntaskan kasus-kasus korupsi. Di samping itu, proses penuntasan kasu-kasus Tipikor dapat dilakukan dengan tingkat konsolidasi yang baik. Namun, kerjasama antar kelembagaan belum terkonsolidasi.

Begitu disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dalam makalahnya pada Seminar Sehari Kerjasama yang berjudul "Kewenangan Diperluas : Mampukah Meningkatkan Upaya Pemberantasan Korupsi?, Rabu (5/12) di Hotel Pangeran Beach Hotel.

Lebih jauh dikatakannya, dengan bertambahnya kewenangan Pengadilan Tipikor dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tipikor berdasarkan usulan tim perumus, paling tidak akan menimbulkan ipmlikasi dan hambatan. Implikasi itu seperti adanya tindakan langsung dari pemerintah untuk mengharmonisasi ketentuan peraturan perundanga-undangan yang ada.

"Hal ini agar tidak terjadi benturan hukum sebagaimana layaknya asas-asas hukum dan pengintegrasian strategi perlawanan terhadap perbuatan korupsi dari lembaga negara dan masyarakat," jelas Alvon.

Berkaitan dengan adanya implikasi harmonisasi peraturan perundang-undangan, tambah Alvon, paling tidak ada beberapa peraturan perundang-udangan yang akan berbenturan dengan RUU tersebut. Perundang-undangan itu seperti Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang penggabungan pemeriksaan Tidank Pidana Pokok dengan turunan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 RUU Versi LSM.

Dijelaskan Alvon, permintaan izin pemeriksaan pejabat publik dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Di samping itu, hambatan yang akan muncul adalah belum adanya kerjasama yang baik antara satu lembaga dengan lembaga lainnya dalam penuntasan kasus korupsi.

"Dalam hal kerjasama antar lembaga, jangankan untuk kerjasama dalam menjalankan suatu strategi bersama, untuk menyatukan pengertian korupsi saja belum dapat dilakukan. Terutama pengertian korupsi sebagaimana yang termaktub dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak Pidana Korupsi. Bisa jadi, korupsi yang dinyatakan oleh pihak berwajib dan jaksa menjadi tindakan kesalahan administrasi oleh pengadilan. Hal ini jelas akan memblunderkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh aparat sebelumnya," jelas Alvon. (nph)

Tidak ada komentar: